Selasa, 27 Desember 2011

Outonomous the region in the second level of Grobogan

Income (PAD) menjadi tolak ukur otonomi daerah, untuk tetap exist not exist setelah berbagai urusan rumah tangga diberikan ke Kab/Kota berdasar UU RI Nomor 32 Th 2004 . Dengan 80 milyar PAD TA 2012 berarti Kab Grobogan Jateng tidak termasuk normal, sebab ketergantungannya kepada Pemerintah Pusat sangat besar. Pengelolaan aset untuk menjadi  sarana perolehan PAD harus diinventarisir secara cermat dan bertanggung jawab. Beberapa SKPD pengelola aset perlu memahami terhadap aset yang dikelolanya manakala sebagai sumber PAD. Beberapa waktu berselang, Pemkab Grobogan mendapatkan sorotan DPRD dalam pembahasan RAPBD TA 2012, ketika beberapa fraksi menyampaikan pandangan umum terhadap pengelolaan tanah-tanah yang digarap pihak lain, hilangnya aset pasar purwodadi, dipakainya trotoar oleh PKL tanpa memberikan kontribusi apapun, semrawutnya pengaturan pasar agro, dibiarkannya alun-alun rusak oleh pihak tertentu yang memiliki kedekatan penguasa, menjamurnya toko minimarket yang ilegal dan mengancam existensi pedagang di pasar pemda, dan lain sebagainya .
BURUKNYA PELAYANAN PUBLIK 
Berbagai peraturan perundangan yang menjadi landasan hukum tentang pajak dan retribusi daerah dikaitkan dengan pengelolaan aset dan pelayanan publik harus difollow up ke dalam regulasi Daerah yaitu peraturan daerah dan peraturan kepala daerah . Menjadi tugas auxiliary staff / completed staff work pemda, mulai dari sekretaris daerah dan para asisten sekretaris daerah bersama-sama pimpinan SKPD pelaksanaan otonomi daerah dipertaruhkan sesuai tupoksinya, dalam rangka penyelenggaraan rumah tangga daerah dan pelayanan publik . 
Banyaknya suara rakyat yang kritis melalui berbagai demonstrasi yang menuntut pemberantasan judi togel / cap jie ki, pemberantasan minuman keras yang haram, pembatasan fasilitas perijinan karaoke yang menyebar di luar perkotaan, kesemrawutan pusat kota purwodadi yang menjadi pusat bursa seks bebas oleh pelacur, kesemrawutan lalu lintas versus PKL, joroknya dalam kota purwodadi oleh berseraknya sampah, tidak diurusnya drainase kota, dipakainya trotoar untuk tempat parkir mobil dan speda motor oleh kantor lembaga keuangan, semrawutnya pengelolaan pasar, tidak pernah memperoleh tanggapan cepat dari bupati , wakil bupati dan wakil rakyat maupun SKPD pemda. Sikap kritis masyarakat melaluii demontrasi hanya dipandang sebelah mata, terbukti tidak ada pejabat yang berani menanda tangani pakta integritas ketika dialog dengan demontran. Contoh bab karaoke, hampir di desa-desa berbatasan dengan kota ibukota kecamatan berdiri karaoke. Ilegal dan legal ... jika dilakukan kajian mendalam melalui berbagai perangkat peraturan daerah, misalnya apakah dapat dibenarkan jika ditinjau dari perda RTRW, atau perda RUTRK, atau perda HO, atau perda IMB, atau perda hiburan dan lain sebagainya. Pernah suatu ketika wakil bupati Grobogan ketakutan dan menolak menanda tangani pakta integritas pembubaran karaoke tersebut, dia kemudian berkilah .....saya akan melanggar perda hiburan jika karaoke legal saya bubarkan. Masyarakat kemudian kecewa, memilih dan memiliki wakil bupati tidak berkualitas, tidak paham semua perda yang sangat terkait dengan IJIN SEBUAH KARAOKE. Dia hanya tahu satu perda thok, aneh bukan ? Dia bicara di koran, tidak sadar komentarnya tidak bermutu. Jadi ketika lokasi karaoke itu diuji dengan berbagai perda tadi, pastinya.... yang disebut wakil bupati bahwa karaoke itu legal ( memiliki ijin) bisa jadi menjadi tidak legal lagi. Hiburan semacam karaoke hanya dibolehkan di KOTA, kota ibukota kabupaten dan kota ibukota kecamatan. Rakyat jangan dibohongi, jelaskan mana batas kota ibukota kecamatan sesuai perda RUTRK setempat. Kalau belum ada perda RUTRK-nya, apalagi perda RTRW-nya juga tidak punya, ya jangan seenaknya sendiri wakil bupati grobogan memberi jin / kepala badan pelayanan perijinan terpadu ( BPPT ) menerbitkan ijin. Sebaiknya dibubarkan saja karaoke-karaoke itu.
Pusat stasiun PJKA di kota purwodadi menjadi tidak jelas untuk dimanfaatkan apa kedepan. Yang diijinkan pemda grobogan di lokasi itu adalah pelacuran resmi menyonghsong tamu-tamu yang keheran heranan ketika menginap di purwodadi. Pemda dan PT KAI mestinya tidak membudayakan ikon pelacuran untuk kab grobogan, sebab penderita HIV/AID positif di kab grobogan sudah mencapai 58 orang, 4 mati. Itu seperti gunung es, 58 penderita adalah permukaannya saja yang sudah terekam oleh Dinas Kesehatan . Di dalam perut gunung es adalah tiga kali lipatnya. Tapi enak saja pemda meresponnya. Takut pemda kalau ikon pelacuran dalam kota musnah.
Otonomi daerah ternyata memperburuk pelayanan dan perlindungan kepada publik. Kebohongan kebijakan terus berlangsung karena kualitas pimpinan daerahnya rendah sekali . Apalagi yang bisa diharapkan dari pejabat setingkat dibawah pimpinan daerah , kalau kualitas pimpinan daerahnya sangat rendah ?
KERUGIAN PEMDA 
Keuangan daerah yang sebagian besar subsidi DAU dan DAK dari Pemerintah Pusat dibelanjakan sebagian besar untuk belanja pegawai, bukan untuk belanja modal yang mestinya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apapun rancangan program dan kegiatan , karena sangat minim untuk belanja modal, maka rakyat tetap melarat. Fokus pemda dalam membangun infrastruktur jalan , ternyata hasil akhir dari pekerjaan pemborong sangat jauh dari kualitas dan standart bestek, itu pun dibiarkan dan diterima dengan senang hati. Bupati dan wakil bupati selalu normatif dalam membela diri, bahwa penilaian kualitas pekerjaan pemborong adalah tugas PANITIA, PPKom, Kuasa Pengguna Anggaran... bukan Bupati, bukan wakil bupati. Aduh.........begini terus yang dijadikan alasam pembenar dari pejabat daerah. Pemborong aman aman saja, dana dikorupsi pemborong dan bisa jadi berjamaah. Jalan Gajah Mada di dalam kota purwodadi , rakyat kecewa berat, kok amburadul banget. Walaupun sudah disidangkan oleh Pengadilan Tipikor, rakyat sudah bisda menduga, terdakwanya pasti akan dibebaskan dari tanggung jawab hukum. Siapa pemborong jalan itu....rakyat tahu sangat jelas. Mengembalikan kerugian pemda yang sudah dilakukan pemborong, secara hukum tidak menghapuskan tindak pidananya. Eeee malah disiasati , dikompromi dengan BPKP Semarang , NHP tidak dikeluarkan , akan mengeluarkan NHP memberitahu bupati agar pemborong mengembalikan kerugian daerah yang sudah dihitung, kemudian dalam LHP tidak lagi diuraikan ada kerugian daerah. Hebat juga siasat antar pejabat BPKP dengan bupati, untuk meloloskan pemborong lepas jeratan hukum. Tapi ketika pemborong satunya tidak diberitahu hal itu, kemudian tidak mengembalikan kerugian daerah sebelum NHP/manajemen letter diterbitkan, yaitu pak Samsul Huda....tetap saja ditindak, dan habis-habisan dia. 
Jadi kerugian pemda diabaikan. 
Sekian dahulu ya......lain kesempatan disambung cerita yang lebih menarik.